by Leija 16th May 13
Seperti yang saya tulis sebelumnya, anak tidak bisa dibiarkan tumbuh menjadi Raja Kecil—egois, demanding, dan tak terkontrol. Setuju?
Nah, kalau sebelumnya saya bicara tentang membiarkan anak merasa frustrasi, sekarang saya mau terjun ke topik yang masih berhubungan, namun lebih dalam—delayed gratification atau menunda kepuasan.
Untuk memahami apa itu delayed gratification, simak cerita berikut:
Di tahun 1960-70an, seorang pakar psikologi, Walter Mischel, melakukan sebuah eksperimen kepada anak-anak usia 4-5 tahun. Tes ini dijuluki The Marshmallow Test. Begini cara kerjanya:
Anak dibawa masuk ke dalam ruangan. Ia disuruh duduk di depan meja, di mana terdapat sebuah marshmallow. Si anak tidak boleh mengambil marshmallow tersebut selama 15 menit. Kalau berhasil, ia akan mendapat hadiah satumarshmallow lagi. Kalau gagal, si anak hanya akan mendapat satu marshmallow itu.

Lalu sang penguji pergi meninggalkan ruangan.
Dari 653 anak yang diuji, yang berhasil tidak menyentuhmarshmallow selama 15 menit hanya… tiga anak! Sisanya tidak tahan. Yang tidak tahan pun levelnya berbeda-beda. Ada yang langsung meraup marshmallow tersebut sedetik setelah sang penguji keluar ruangan. Ada yang tahan lima menit. Ada yang tahan sepuluh menit. Dan seterusnya.
Dua puluh tahun kemudian, Walter Mischel mendata kembali anak-anak yang pernah mengikuti The Marshmallow Test. Hasilnya mengagumkan—semakin lama seorang bocah mampu menahan diri terhadapmarshmallow tersebut, semakin tinggi pula daya konsentrasi dan logikanya. Mereka juga cenderung awet memelihara persahabatan, dan mampu bertahan dibawah tekanan. They don’t crack under pressure.
Kesimpulannya, Mischel menemukan korelasi yang kuat antara kemampuan menahan diri (atau menunda kepuasan) dengan masa depan yang lebih baik.
Setelah membaca Bringing Up Bebe, bisa saya katakan bahwa warga Prancis punya budaya delaying gratificationyang amat kuat. Inilah mengapa anak-anak Prancis umumnya jauh lebih tenang dan kalem dibandingkan anak-anak Amerika Serikat.
Budaya ini susah dijabarkan secara scientific dan satu persatu-satu. Ibaratnya begini: bisa nggak sih, kita menjelaskan logika budaya orang Jawa, mulai dari tatakrama sampai sifat mengabdinya? Agak susah ya, karena sifat-sifat tersebut cenderung sudah tertanam dalam jiwa orang Jawa, jadi pelaksanaannya otomatis saja.
Sama halnya dengan budaya delaying gratification di Prancis. It just happens. Bahkan penulis Bringing Up Bebe, Pamela Druckerman, agak kesulitan menguliknya.
Saya pun tidak bisa memberikan mommies step-by-steppraktis dalam menanamkan budaya delayed gratificationkepada anak. Gini deh, saya berikan saja contoh-contoh kasus dalam masyarakat Prancis, lalu mommies simpulkan sendiri. Oke?
Orang Prancis sangat percaya dengan budaya ‘menunggu’. Bahkan ketika seorang newbornmenangis, ia tidak langsung digendong. Orangtuanya akan menunggu selama 3-5 menit, mendengarkan tangisan sang bayi, lalu baru menggendongnya. Ingat tulisan saya sebelumnya, bahwa anak harus merasakan frustrasi sejak bayi? Ini salah satu contohnya. Ketika newborn menangis, mereka akan ‘dibiarkan’ frustrasi selama beberapa menit. Lama-lama, bayi-bayi Prancis merasa familiar dengan perasaan tidak nyaman terbangun, sehingga perlahan, mereka bisa mengatasi sendiri perasaan tersebut. Maka di usia 2-3 bulan, rata-rata bayi Prancis sudah bisa tidur semalaman penuh. Kalau mereka terbangun, mereka bisa balik tidur sendiri.They learn to self-soothe quickly. Ini adalah skillkemandirian yang amat penting.
O, ya, hal ini berbeda dengan metode Ferber dari Amerika Serikat, di mana bayi bisa dibiarkan menangis sampai sejam sampai ketiduran karena capek. Di Prancis, bayitetap digendong, namun tidak langsung.
Tidak ada ‘ahli’ atau ‘profesor’ yang mengajarkan hal ini kepada orangtua Prancis. It just happens in France for many, many years.
Jika seorang anak Prancis merengek kepada orangtuanya, sang orangtua tidak mengeluarkan kata, “Stop!” atau “Jangen rewel!”. Mereka akan bilang, “Tunggu!”. Artinya beda, lho. Perintah ‘tunggu’ bermakna: ‘Mama sedang sibuk sebentar. Tunggulah beberapa menit, lalu Mama akan meladeni kamu.’ Menunggu di sini bukan berarti berjam-jam, ya. Bisa hanya 10-20 menit. Namun karena dipraktikkan terus menerus, anak-anak Prancis terlatih untuk sabar. Mereka tahu, kalau mereka sabar, pada akhirnya mereka akan diladeni, kok.
Menurut Pamela Druckerman, jarang sekali ia menelpon temannya, lalu temannya harus pamit karena, “Aduh, udahan dulu ya! Anakku rewel nih!” (JLEB! Sounds familiar?) Tidak ada. Anak Prancis sabar menunggu sampai ibunya selesai menelepon, dan sebaliknya, sang ibu tidak menyerah kepada kerewelan anak.
Anak-anak Prancis punya hobi yang sama setiapweekend—bikin kue. Tanpa disadari, ini adalah latihan kesabaran yang amat efektif untuk anak. Bayangkan—mereka harus pelan-pelan menakar bahan, hati-hati memasukkan adonan ke dalam oven, lalu menunggu manis sampai kuenya matang. Setelah matang, mereka mendekor kue mereka dengan cermat. Ketika kue sudah jadi pun, biasanya anak-anak Prancis tidak diperbolehkan langsung mencaplok hasil baking-nya. ‘Tunggu jam makan!” kata orangtua mereka. Maka lagi-lagi, delayed gratification dipraktikkan.Di Prancis, kalau seorang ibu sedang masak, lalu anaknya merengek di dalam playpen, apa yang kira-kira akan dilakukannya? Ya, lanjut masak. Mau diapakan lagi? Toh, nangisnya bukan karena kesakitan, tapi hanya ingin diladeni. Di saat seperti ini, bagi mereka, memasak lebih penting. Lagipula, bagi mereka, langsung menggendong si anak berarti memberikan instant gratification dan pesan yang salah: the kid is rewarded for bad behavior.
Yang saya simpulkan, inti dari delayed gratification adalahmenunda kepuasan anak. Bukan berarti melarang, lho, ya. Kadang anak boleh mendapat apa yang ia mau, tapi ia WAJIB bersabar.
Kembali ke The Marshmallow Test. Ketika rekaman video The Marshmallow Test ditonton ulang oleh Walter Mischel, ia mendapati bahwa anak-anak yang mampu menahan diri agak lama punya kemampuan hebat dalam menghibur diri mereka sendiri. Untuk mengalihkan perhatian, mereka nyanyi-nyanyi sendiri, mainin jari jemari, dan melakukan berbagai hal demi mengalihkan perhatian darimarshmallow.
Seperti halnya self-soothing pada newborn, kemampuan menghibur diri sendiri pada anak adalah sebuah skill, bukan bawaan lahir. Ya, skill, yang berarti hal yang bisa diajarkan. Dan bagi warga Prancis, skill ini amat penting bagi anak.
Selain dengan delaying gratification, salah satu cara untuk melatih skill menghibur diri sendiri adalah dengan membatasi stimulasi kepada anak. Menurut Bringing Up Bebe, kita tidak boleh, lho, terus-terusan menemani dan menstimulasi anak (kasih mainan atau buku cerita, diajak nyanyi, kasih TV, dsb). Perhatikan baik-baik. Kalau anak sedang mampu menghibur dirinya sendiri, BIARKAN SAJA. Kalau mereka butuh perhatian, baru ajak main bersama.
Tak tega membiarkan anak merengek? Nah, kalau menurut para ahli, keinginan seorang anak itu bottomless pit. Nggak ada ujungnya. Sudah diberi anu, lalu minta itu. Kasihan, lho. Mereka diperbudak diri mereka sendiri akibat tidak bisa puas.
Sebagai orangtua, kita harus mengajari mereka untuk membatasi diri sendiri. Kalau sudah terbebas dari belenggu napsu (ceileh…), anak akan lebih hepi. Pasti tau ‘kan istilah,“When you want nothing, you’ve achieved happiness”?
Dan sebagai bonus, kita—sebagai orangtua—bisa menjalani hidup dengan lebih tenang.
Selengkapnya, silahkan ulik sendiri mengenai delayed gratification dalam French parenting, yaaa :)
Akhir kata, saya ingin berbagi secuplik cerita dari buku anak-anak Prancis, The Perfect Princess, dimana mommiesbisa lihat betapa budaya delayed gratification tertanam kuat pada mereka:
Seorang bocah bernama Zoe berjalan bersama ibunya, dan berpapasan dengan penjual crepe manis. Zoe ingin crepe tersebut, namun ibunya melarang. Di lain hari, ketika Zoe kembali melewati penjual crepe tersebut, alih-alih kembali merengek, Zoe menutup matanya agar ia tidak tergoda.
No comments:
Post a Comment
makasih ya udah baca :)
tambah makasih kalo mau kasih comment dibawah ini ^____^