Surga Untuk Mama

Tuesday, October 30, 2012


Oleh : Ervina Maulida

Matahari senja sudah lama berganti rembulan. Semburat jingga di ufuk barat sudah berganti menjadi hitam pekat. Aku berdiri lesu di pinggir trotoar. Satu jam berlalu sejak aku turun dari bus transjakarta. Tubuh ini sudah hampir ambruk rasanya. Sekuat tenaga aku coba berdiri sambil bersandar dibatang pohon yang mulai lapuk kulitnya.

“Ka, maaf.. tadi habis shalat jama’ah di masjid, Umar ga bawa hp” kata seorang remaja laki-laki dari balik helmnya. Alhamdulillah.. pertolongan Allah telah datang.

Aku segera duduk di bagian belakang motor. Motorpun langsung menderu melesat menerjang keramaian jalan raya. Beberapa ratus meter kemudian mulai berbelok ke arah pemukiman yang lebih sepi. Di  perempatan pertama, motor diarahkan menuju gang kecil di antara rumah-rumah yang berhimpit satu sama lain. Sesampainya di ujung gang, pengguna motor itu langsung mematikan mesinnya.

Aku berlari masuk ke rumah dengan ucapan salam yang sangat lirih. Tak ada yang kulihat lagi selain pintu kamarku yang berada di sudut ruang tamu. Serta merta aku masuk dan membaringkan tubuhku di atas ranjang. Nafasku memburu. Ku rasakan hawa dingin menyeruak menusuk-nusuk tulangku. Mataku memicing. Terlihat botol bening berwarna biru tergeletak di atas meja rias.

“Bobiii.. come here.. come to Mama...” lirihku pada bobi (botol biru) di atas meja rias.

Kukeluarkan dua butir obat dari botol itu. Satu kali lahap dan obat itu masuk dengan mulus ke tenggorakanku. Dalam hati aku hanya bisa bertahmid berkali-kali.

Nafasku sudah mulai teratur. Kurapikan kerudung yang sudah tak berbentuk lagi. Ku pandangi wajah pucat yang memantul di cermin. Aku mencoba tersenyum. Sudah sering aku mengalami masa-masa seperti ini. Dulu bahkan lebih parah. Aku harus seperti orang di ambang kematian, saat lupa membawa obat wajibku ketika pergi ke Yogyakarta selama sepekan. Akibatnya aku kambuh. Dan harus mengalami demam dan diare selama lebih dari satu bulan lamanya. Sejak saat itu, aku selalu berusaha untuk membawa obat ‘sepanjang hidupku’ kemana-mana.

Tiga jam menuju tengah malam. Kupandangi jarum jam yang berdetak beraturan. Tanpa melepas mukena yang masih melekat di tubuh, aku keluar kamar. Rumah sudah sepi, hanya terdengar bunyi murottal dari kamar di dekat dapur milik Umar adikku.

Aku menuju ke arah dapur, bukan ke kamar Umar, tetapi kamar disebelahnya, kamar Mama. Ku buka perlahan dan kulihat wajah Mama yang sudah terlelap dengan teduhnya. Seperti biasa, masih dengan daster batik merah mudanya. Aku mendekat dan membaringkan tubuhku disampingnya. Layaknya hari-hari kemarin, aku masih saja melakukan aktivitas ini setiap hari. Memandangi wajah orang yang paling ku cinta di dunia ini lekat-lekat. Menatapnya dengan perasaan haru yang menyeruak. Karena setiap aku memandang wajah teduhnya, selalu timbul jutaan penyesalan dalam diriku. Hingga tanpa sadar, aku pasti menitikkan air mata.
***

“Bian malu punya keluarga kaya gini mah ! Bian mau pergi aja !” bentakku sambil meraih tasku kasar. Rasanya aku hobi sekali marah-marah kepada Ayah dan Mama.

Tak habis pikir, entah harus bertahan berapa lagi menghadapi keluarga dengan status cacat seumur hidup seperti ini. Aku marah pada Tuhan. Aku marah pada-Nya karena telah menakdirkanku lahir diantara pasangan suami istri penderita HIV/AIDS. Aku marah pada orang tuaku yang dengan berani-beraninya melahirkan aku, hingga aku harus ikut menanggung malu karena sama cacatnya dengan mereka.

“Bian, kamu ga boleh seperti itu, maafkan Mama nak” rayu Mamaku dengan air mata berlinangan. Tangannya memengang erat pergelanganku, mencoba menahan sebisanya.
Aku menatapnya nanar. Aku bosan mendengar kata maaf dari mulut Mama.

Sampai kapan ? Sampai kapan Bian harus bertahan? Sampai kapan Bian harus dijauhi teman-teman karena keluarga ini, Ma?

“Bian ga mau minum obat lagi, Bian mau pergi aja !” bentakku sekali lagi lalu menghambur ke kamar. Tak ada lagi suara. Senyap. Yang terdengar hanya deru nafas yang memburu di hidungku. Aku mengambil botol obat dari dalam tas dan melemparnya ke dinding. Tak peduli betapa aku membutuhkan obat itu.

Rasanya mau mati ! Aku benci minum obat !
***

Hidayah itu datang.

Saat itu aku masih kelas tiga SMP. Aku harus rela kehilangan Ayahku selama-lamanya. Ayah yang selama ini berjuang mati-matian menghidupi dan menyemangatiku, sore itu Allah ambil secara terhormat. Ayahku meninggal bukan karena ia tak mampu berjuang melawan penyakitnya. Melainkan karena ia ditabrak lari oleh mobil sewaktu ia pulang kerja mencari nafkah. Kami sekeluarga terpukul. Terlebih Mama dan Umar.
Awalnya aku masih enggan berinteraksi dengan Mama. Masih dengan egoku dulu yang benci dengan kedua orang tuaku. Sampai akhirnya disuatu sore, Mama menungguku pulang sekolah seorang diri di teras rumah. 
Mama mengajakku bicara dari hati ke hati.

“Nak.. mungkin kau masih marah pada Ayahmu, tapi sungguh, Ayahmu bukanlah pezina atau pengguna barang haram,  almarhum tidak seperti fitnah-fitnah itu.. almarhum... menyayangimu” kata-kata Mama terasa seperti tusukan belati di hatiku.

“Ibu menikahi Ayahmu dengan perasaan cinta yang mendalam. Kau perlu tahu, ketika menikah, Ayahmu bukanlah ODHA. Begitupun Mama. Tapi, sehari setelah pernikahan, Ayahmu kecelakaan. Dia hampir meninggal saat itu karena kehabisan darah. Dan ternyata, setelah Ayahmu mendapatkan pertolongan dari tranfusi darah AB-nya, justru dari situlah penyakit itu resmi bermukim di tubuhnya. Kami masih belum tahu awalnya dan tetap berhubungan seperti biasa, sampai pada akhirnya, kami mendapatkan kenyataan pahit bahwa kami berdua harus menderita bersama karena virus itu. Dan pahitnya lagi, kami menyadari bahwa di rahim Mama, sudah di anugerahi kau, Bian.” Kali ini ada bulir air mata yang keluar dari pelupuk mata mama.

“Maafkan Mama Bian, maafkan Mama karena kau harus ikut menanggungnya” ucapnya sambil terisak.

Aku menelan ludah, biar bagaimanapun aku tak tega melihat Mama menangis. Aku terenyuh mendengar setiap kata yang terucap dari mulut Mama. Dalam hati aku menyesal tak pernah memberi orang tuaku kesempatan untuk sekedar menjelaskan. Aku justru menuding mereka yang tidak-tidak.

Bukankah selama ini mereka sudah sangat sabar menghadapiku ? Bahkan ketika aib keluarga terbongkar karena ulahku, mereka tetap menyayangiku ?!

Aku ingat betul ketika kelas dua SD, saat aku sudah mulai bisa minum obat sendiri, tanpa sengaja aku membaca obat ARV yang kuminum itu untuk penderita HIV/AIDS. Serta merta aku yang masih polos bertanya pada guruku saat jam pelajaran, “Ibu, HIV/AIDS itu apa ? kenapa saya bisa sakit HIV/AIDS ?”

Sejak pertanyaan bodoh itu, aku dijauhi teman-temanku. Bahkan keluargaku pun terkena imbasnya, dijauhi oleh para tetangga. Ayahku bersikeras tak mau pindah meskipun aku meronta-ronta meminta pindah sekolah dan rumah. Ayahku hanya memelukku tanpa amarah dan memintaku untuk menjadi anak yang kuat dan sabar.

Kenangan itu cukup membuatku sadar. Dan untuk pertama kalinya aku mencium kening Mama dan mengingat kembali kata-kata Ayahku bahwa aku harus kuat.
“Bian minta maaf ya Ma, Bian akan kuat seperti Mama” ucapku ditelinganya.
***
Hari-hari berikutnya terasa semakin sulit dan berat. Mama harus berjuang menghidupi aku dan Umar seorang diri. Pernah suatu sore aku melihat Mama habis diusir dari rumah tetanggaku.  Ketika kuhampiri dan kutanya apa yang terjadi,

“Mama hanya ingin meminjam uang untuk beli obat, Mama tidak ingin kamu menderita nak” jawabnya singkat.

Sejak saat itu, aku tak banyak marah dan mengeluh. Aku mencoba mendewasakan diri dan mulai berdamai dengan keadaan. Aku tak akan membiarkan Mama mencari penghasilan sendiri dengan berjualan makanan kesana-kemari. Aku mulai mandiri. Aku sadar biaya obat untuk Mama dan aku tidaklah murah. Aku harus membantu mama.

Tak ada jalan lain, beasiswa adalah satu-satunya solusi. Sejak SMA aku sudah bisa mendapatkan beasiswa dari badan ZIS ibu kota. Dan akupun bisa masuk Universitas dengan jalur prestasi hingga mendapat potongan uang pangkal hingga 75% ditambah beasiswa hingga lulus. Tentu saja aku merahasiakan identitasku yang ODHA. Begitu pula adikku. Aku arahkan dia agar bisa mendapatkan beasiswa sejak ia masuk SMA. Akhirnya aku mampu menutupi kebutuhan biaya obat-obatan kami hingga saat ini.
***

Sudah hampir tujuh tahun semenjak kepergian Ayah. Mama masih bertahan. Bertahan dengan penyakitnya. Aku usap pipi lembut Mama dengan penuh kasih. Jariku menelusuri keningnya, hidungnya dan bibirnya. Mama tampak indah di mataku.

Aku tak bisa membayangkan apa jadinya aku tanpanya. Ia lah orang yang selalu memotivasi aku untuk bertahan. Bukan untuknya, tapi untuk Umar. Mama sangat khawatir jika ia harus pergi karena penyakit ini, lalu kelak aku juga menyusulnya, Umar akan hidup sebatang kara. Membayangkannya saja aku menangis. Aku sangat mencintai Umar. Kekuatan mama bertahan sampai saat ini benar-benar membuatku berjuang.

Setelah puas membelai dan menatap wajah Mama, aku bangkit. Ku ciumi pipi dan keningnya dan ku rapatkan selimutnya agar hangat. Mama terpejam. Teduh sekali.

Saat aku hendak membuka pintu, mataku terhenti pada sebuah karton di samping pintu kamar bertuliskan,

“Ya Allah, ku niatkan untuk menghafal ayat-ayatmu di tiap sepertiga malammu. Izinkan aku untuk mengkhatamkannya ya Rabb. Cukuplah Engkau yang menjadi saksi dan Engkaulah sebaik-baik penolong. HambaMu-Fatimah”

Air mataku mengalir haru. Aku mengamini berulang kali. Sejak kepergian Ayah, Mama menjadi semakin shalihah. Allah pertemukan ia dengan kelompok yang juga diisi muslimah penghafal qur’an. Awalnya aku heran, kenapa Mama selalu mengaji di tiap pekan. Bahkan lingkaran pengajiannya pernah juga datang ke rumahku. Lingkaran itulah yang menjadi tamu pertama kami dan bisa menerima keadaan kami, ukhuwwah Islam menjawabnya secara nyata dihadapanku. Belakangan aku tahu, bahwa itulah yang dinamakan kelompok mentoring atau halaqoh. Aku tersenyum membaca karton itu.

Hafalan Mama sudah sepuluh juz Ya Rabb.. ridhoi ia mengkhatamkannya tepat waktu.

***

Masih mengenakan mukenaku, aku menuju kamar Umar. Kulihat adikku yang terlelap di atas tumpukan buku fiqh. Aku mencium keningnya. Allah maha baik. Ia menakdirkan Umar terlahir tanpa virus bawaan. Ia steril. Tentu karena orang tuaku yang hebat.

Umar lahir melalui program PMTC, Procedure Preventive Mother to Child sebagai upaya mencegah penularan virus HIV/AIDS dari ibu hamil ke anak di dalam kandungannya. Berbeda denganku, ia terlahir melalui operasi Cesar dan tidak pernah menikmati lezatnya ASI. Semua itu Mama dan Ayah lakukan untuk meminimalisir penyebaran virus ke anak keduanya. Alhamdulillah, setelah melakukan tes viral load pada usia ke 19 bulan, dokter menyatakan bahwa Umar tidak terjangkit virus. Negatif.

Umar tumbuh menjadi anak yang shaleh dan tangguh. Umar tidak pernah malu memiliki orang tua dan kakak pengidap HIV/AIDS. Ia membela mati-matian setiap ada yang merendahkan keluarganya. Diusianya yang menginjak 16 tahun, ia sudah hafal tiga juz Al-Qur’an. Ia sangat termotivasi oleh banyaknya hafalan Mama. Ia memiliki azzam, kelak, saat keluarga ini dipertemukan di akhirat, Umarlah yang akan memasangkan mahkota terindah di kepala Mama dan Ayah. Aku sungguh beruntung memiliki adik seperti Umar. Namanya benar-benar sesuai dengan karakternya.

Di tengah malam itu, di ruang keluarga, aku benar-benar menangis sejadinya. Dalam sujudku, aku benar-benar bersyukur padaNya telah menganugerahiku keluarga ini. Aku bersyukur memiliki Mama yang shalihah dan luar biasa. Yang dengan kekuatannya mampu mempertahankan keluarga ini dengan sempurna. Sabar dengan sikap durhakaku, hingga akhirnya aku tershibgoh oleh Islam melalui sosoknya. Dari beliaulah aku mengenal kelompok mentoring yang membawaku mengenal Islam kembali, hingga pada akhirnya membuat hijab panjang ini melekat di kepalaku sejak dua tahun terakhir. Sosok perempuan tangguh yang dengan virus HIV/AIDS-nya justru ia bisa melampaui batas wanita seusianya yang sehat-sehat saja, dengan hafalannya yang semakin barokah. Semoga perjuangan Mama selama ini berbuah surga-Nya.

 “Alloohummaghfirlii waliwaalidayya war hamhumaa kama rabbayaanii shagiiraa”

Writing Competition ini merupakan salah satu rangkaian acara dari Indonesia Muslimah Fest bekerjasama dengan FLP Bandung. Ikuti lomba & Audisi lainnya seperti Lomba Menyanyi, Model Muslimah, Rancang Hijab dengan Hadiah Utama Tour Eropa, Asia dan Umroh juga Hadiah Ratusan Juta lainnya. Informasi lebih lanjut dapat diakses melalui:
web             www.festivalmuslimah.com
Twitter       : @MuslimahFest
Fb                 : www.facebook.com/FestivalMuslimah

You Might Also Like

0 comments

makasih ya udah baca :)
tambah makasih kalo mau kasih comment dibawah ini ^____^

Popular Posts

Featured post

Disclaimer

Sumber: di sini Saat kemarin membuka blog ini setelah 3 tahun 3 bulan 15 hari berlalu.. saya akhirnya mulai merapikan blog ini kembali ...

My Latest Vlog on Youtube

My latest post on instagram