NAQIYYAH, AJADIB DAN QI’AN

Saturday, September 21, 2013


Dalam sebuah Hadis, Rasulullah saw. bersabda :
“Perumpamaan apa yang Allah Swt. utus diriku untuk membawanya, yaitu berupa hidayah dan ilmu, adalah seperti hujan yang banyak menimpa bumi, diantara bumi itu ada yang naqiyyah; menyerap air lalu memunculkan tanaman dan rerumputan yang banyak.

Ada juga yang ajadib; menahan air, maka Allah Swt. memberikan manfaat dengan air itu kepada manusia yang banyak, maka mereka minum, memberi minum dan bercocok tanam.
Ada pula hujan yang mengenai satu bagian bumi yang lain. Bagian ini tidak lain adalah qi’an; tidak menahan air dan tidak memunculkan rerumputan. Itulah perumpamaan orang yang faqih (memiliki pemahaman yang dalam) terhadap agama Allah Swt., dan apa yang saya diutus untuk membawanya, diberi manfaat oleh Allah Swt. untuk dirinya, maka ia pun mengetahuinya dan mengajarkannya, dan perumpamaan orang-orang yang tidak mendongakkan kepalanya dan tidak menerima hidayah Allah Swt. yang saya diutus untuk membawanya.” 
(H.R. Bukhari)


Hadis ini mengajarkan kepada kita beberapa hal:
  1. Bahwasanya Islam adalah agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. untuk disampaikan dan diajarkan kepada manusia. Apa yang beliau sampaikan atau ajarkan ibarat hujan yang banyak.
  2. Dalam Al Quran, Allah Swt. menyebut angin yang membawa hujan sebagai busyra (berita gembira) (Q.S. Al A’raf, 7:57, Q.S. An-Naml, 27:63, Q.S. Rum, 30:46). Sebagai busyra, kehadiran dan kedatangan ilmu hendaknya disikapi dengan bersuka cita dan rasa senang (yastabsyirun) sebagaimana sikap manusia terhadap turunnya hujan (Q.S. Rum, 30:48). Adalah keliru, bila kita menyikapi ilmu, atau jalan ilmu, tatsqif atau taklim misalnya, dengan sikap tidak senang.
  3. Dalam Al Quran, Allah Swt. menjelaskan bahwa hujan memiliki banyak fungsi, yaitu : menyucikan dan membersihkan (yuthahhirakum), menghilangkan kotoran setan (yudzhiba ‘ankum rijzasy-syaithan), menguatkan ikatan hati sesama kaum Mukminin (rabthul qulub), dan sebagai tatsbit (pembawa dan penyebab tsabat) [Q.S. Anfal, 8:1].
  4. Banyak fungsi hujan, berarti banyak pula fungsi ilmu. Bila kita melihat ada banyak hati yang kotor, tidak bersih, dan tidak suci, ini merupakan pertanda bahwa hati itu sudah lama tidak mendapatkan siraman hujan (baca:ilmu). Begitu pula halnya, bila kotoran-kotoran setan telah hinggap dalam jiwa manusia. Untuk membersihkannya, jiwa itu dibawa ke majelis ilmu agar mendapatkan siraman dari sana sehingga bersih. Ukhuwah yang retak, ikatan yang mengendor dan tali hubungan yang terurai, juga dikarenakan absennya ilmu. Begitu juga dengan hilangnya tsabat, disebabkan oleh jauhnya hati dari majelis ilmu.
  5. Dalam hadis di atas, Rasulullah saw. mengklasifikasikan tanah yang mendapatkan siraman hujan itu dalam tiga kategori. 
Berarti, ada tiga kategori peserta atau pendengar ilmu.
  1. Naqiyyah. Dalam riwayat Imam Muslim disebut thayyibah, yaitu tanah yang menyerap air, menyimpannya dalam dirinya, memanfaatkannya untuk dirinya, memunculkan berbagai macam tanaman dan rerumputan, sehingga makhluk lain (manusia dan binatan) mengambil manfaat darinya. Inilah perumpamaan orang yang menuntut ilmu, yang ilmu itu dia simpan dalam dirinya. Dia manfaatkan untuk dirinya dan ia berikan manfaat itu kepada sesamanya (al ‘alim al ‘amil al mu’alim = mengerti, mengamalkan dan mengajarkan).
  2. Ajadib, yaitu tanah yang hanya mampu menampung air saja. Dia sendiri tidak mengambil manfaat darinya. Akan tetapi dengan daya tampungnya, ia mempunyai beberapa manfaat; untuk minum, memberi minum, dan bercocok tanam. Inilah perumpamaan orang yang mendatangi majelis ilmu, lalu ia mampu menghafal, atau catatannya bagus, meskipun dia sendiri tidak mengerti untuk apa hafalan dan catatannya itu. Akan tetapi, dengan kemampuan hafalan dan catatan itu, orang lain bisa mengambil manfaat darinya.
  3. Qi’an, yaitu jenis tanah yang tidak menumbuhkan sesuatu pun, dan tidak menampung air, bablas. Dalam bahasa Jawa disebut bungen-tuwo = melebu kuping tengen metu kuping kiwa (masuk telinga kanan, keluar telinga kiri).


Ikhwah fillah ...
Sudah tentu, kita semua ingin termasuk orang-orang yang masuk kategori naqiyyah atau thayyibah, karenanya:
  1. Kita harus rajin mendatangi majelis-majelis ilmu.
  2. Kita harus serius mengikuti perjalanan majelis ilmu itu dengan cara mendengarkan secara saksama, mencatat, menghafal, mengamalkan, dan mengajarkan yang kita dapatkan itu kepada orang lain.
  3. Bila kita datang ke majelis ilmu hanya karena melaksanakan tugas atau kewajiban (seperti anak kecil dalam ceramah tarawih), tidak mendengarkan, tidak mencatat, boro-boro menghafal, berarti kita telah memosisikan diri kita menjadi tipe-tipe qi’an, na’udzu billah min dzalik.

Semoga Allah Swt. menjadikan kita termasuk golongan para ulama, ‘amilun, atau muta’allimun, atau mustami’un atau muhibbun lil ‘ilmi! Amin.

*re-post dari murobbiyah unj

You Might Also Like

1 comments

  1. maaf ini sepertinya tulisan ustadz Musyaffa Abdurrahim, kenapa tidak disertakan nama beliau dalam tulisan ini? terima kasih

    ReplyDelete

makasih ya udah baca :)
tambah makasih kalo mau kasih comment dibawah ini ^____^

Popular Posts

Featured post

Disclaimer

Sumber: di sini Saat kemarin membuka blog ini setelah 3 tahun 3 bulan 15 hari berlalu.. saya akhirnya mulai merapikan blog ini kembali ...

My Latest Vlog on Youtube

My latest post on instagram