PENDEKATAN DAKWAH

Friday, September 27, 2013

Ini oleh-oleh dari ust. Musyafa yang aku ambil dari buku beliau "semangat ruh baru" untk kalian yang berjuang menjadi MR (murobbi/murobbiyah)

PENDEKATAN DAKWAH


Ada satu buku yang menarik kita cermati. Buku itu berjudul, Nahnu Du’atun, La Qudhaatun. Artinya, kita ini adalah para dai, bukan tukang vonis.
Buku ini menurut saya menarik karena sepanjang yang saya ketahui, dakwah itu bersifat seruan, ajakan, dan tawaran-tawaran yang bersifat menyenangkan (tentunya sebatas tidak bertentangan dengan syariat Islam). Oleh karena itu, saat mendefinisikan makna dakwah secara bahasa (lughawi) Al Fairuz Abadi dalam Mukhtarush-Shihhah-nya mengatakan:
Huruf daal, huruf ‘ain, huruf alif _ (kata) “Ad-da’watu” ila ath-tha’am, begitu juga kata “mad’ati fulan”, keduanya adalah bentuk mashdar (kata dasar) yang maksudnya adalah ajakan untuk makan (al mukhtar ash-shihhah:80)
Pada ghalibnya orang akan merasa senang, bahkan antusias bila diajak makan. Apalagi bila makanannya istimewa.
Sepanjang yang saya ketahui pula, dakwah itu mempergunakan kaidah:
Memberi berita gembira, bukan menakut-nakuti.
Ternyata, yang menetapkan kaidah ini adalah Rasulullah saw., sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim berikut ini:
Dari Abu Musa r.a., ia berkata, “Rasulullah saw. setiap kali mengutus seorang dari sahabatnya untuk suatu urusan, beliau bersabda, ‘Berilah berita gembira dan jangan membuat orang lari, permudah dan jangan mempersulit.’”

Nah, buku tadi menggambarkan bahwa ada sekelompok dai yang senang memvonis, jelas hal itu tidak sejalan dengan kaidah dakwah yang telah ditetapkan oleh Rasulullah saw. tersebut.
Bahkan Al Quran menjelaskan kepada kita bahwa dengan pendekatan dakwah yang baik (billati hiya ahsan), seseorang yang tadinya sangat memusuhi dakwah bisa berubah menjadi seakan-akan teman yang sangat dekat.
Perhatikan dalam hal ini firman Allah Swt. berikut ini!
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru (dai) kepada Allah, mengerjakan amal yang shalih dan berkata, “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang muslim.” Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia!” (Q.S. Fushshilat 41:33-34)

Seorang ulama mengatakan, “Jadi jurus yang dipakai oleh dai itu paling tinggi hanyalah daf’ (bahasa Al Qurannya idfa’) – yang kalau kita terjemahkan secara harfiah mungkin berarti dorong-mendorong, bukan shira’ (konflik).” Konflik itu membuat banyak pihak yang sakit hati, sehingga dengan semakin maraknya dakwah, orang-orang yang sakit hati kepada para dai – dan kepada dakwah sebagai dampaknya – juga semakin banyak. Dampak selanjutnya, yang memusuhi dakwah juga bertambah banyak. Padahal, dengan pendekatan idfa’ billati hiya ahsan, orang yang tadinya bermusuhan saja seolah-olah bisa menjadi teman yang sangat setia.

Oleh karena itu, Ibnu Taimiyyah r.a. merumuskan perlu adanya beberapa hal dalam berdakwah, yaitu:
Pertama:
Sebelum berdakwah, kita harus mempunyai ilmu (pengetahuan); ilmu tentang apa yang harus kita dakwahkan, ilmu tentang orang yang akan kita dakwahi (psikologisnya, situasi dan kondisinya dan semacamnya), dan ilmu tentang bagaimana cara yang terbaik untuk menyampaikan materi dakwah tertentu kepada orang tersebut.
Kedua:
Saat berdakwah, kita harus menyampaikannya dengan rifq (lembut, lunak, tapi tidak berarti lembek). Sebab Rasulullah saw. bersabda,
“Sesungguhnya sifat dan sikap rifq itu tidak ada pada sesuatu, kecuali menjadikan sesuatu itu baik dan indah, dan tidak tercabut dari sesuatu kecuali menjadikan sesuatu itu berantakan, rusak dan jelek.” (H.R. Muslim)
Ketiga:
Setelah melakukan dakwah, kita harus bersabar menerima hasil-hasil dan dampak-dampak dakwah yang sudah kita lakukan.
Sangat layak juga kita renungkan perkataan seorang dai, “Kemenangan dakwah bukanlah dengan menghancurkan setiap batu bata dari bangunan yang ada di hadapan seorang dai. Akan tetapi, kemenangan dakwah yang spektakuler adalah jika dai itu mampu mengubah setiap batu bata dari bangunan yang ada di hadapannya menjadi batu bata dakwah.”
Atau dengan bahasa lain, “Kemenangan dakwah bukanlah dengan menghitung banyaknya orang yang bergelimpangan di hadapan sang dai sebagai akibat dari shira’ (konflik) yang ditimbulkannya, akan tetapi dengan menghitung banyaknya waliyyun hamiim (teman-teman setia) sang dai itu yang sebelumnya adalah para musuh dai (fa idzalladzi bainaka wabainahu ‘adawatuni)."

Kaidah dakwah seperti ini harus kita miliki, sebab umat yang ada di hadapan kita bukanlah ummatun kafirahi (umat yang kafir), akan tetapi ummatun muslimah (kaum muslimin), atau – sesuai dengan istilah para ulama’ akidah – ahlul qiblah.
Bahkan, saat Nabi Musa dan Harun a.s. hendak mendakwahi Fir’aun la’natullahi saja diperintahkan dengan pesan:
“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (Q.S. Thaha:44)

Maka pada saat kita mendakwahi ahlul qiblah ini tentunya harus lebih lemah lembut; jangan main vonis, jangan membuat orang lari dan membenci dakwah, apalagi kalau sampai memusuhi dakwah, na’udzu bilah!

Dalam buku tarikh diceritakan bahwa ada seorang wa’izh (pemberi mau’izhah) datang kepada khalifah Harun Al Rasyid. Orang itu berkata dengan cara yang sangat kasar. Maka Harun Al Rasyid berkata, “Ingatlah bahwa aku tidak lebih buruk daripada Fir’aun dan engkau tidak lebih baik daripada Musa a.s., sedangkan Allah telah memerintahkan Nabi Musa untuk berkata kepada Fir’aun dengan cara yang lemah lembut.” Lalu, Harun Al Rasyid membaca ayat empat puluh empat dari surat Thaha tersebut.

Kita ingat kembali kisah ketika Hasan Al Banna diundang oleh murid-muridnya untuk menjadi penceramah di daerah yang didominasi oleh tokoh-tokoh tarekat. Karena merasa wilayahnya akan didatangi orang baru, para tokoh tarekat itu berkumpul dan berencana menggagalkan rencana ceramah Hasan Al Banna tersebut.
Namun tanpa diduga oleh mereka, pintu tempat mereka berkumpul diketuk orang. Mereka bertanya, “Siapa mengetuk pintu?” “Hasan,” jawab yang diluar. Mereka saling berpandangan, Hasan manakah ia? Karena tidak mendapatkan kepastian, merekapun bertanya lagi, “Hasan siapa?” “Hasan Al Banna,” jawab yang di luar pintu. Maka Hasan Al Banna pun dipersilakan masuk.
Singkat cerita, Hasan Al Banna meminta izin dari mereka untuk berceramah di daerah itu. Mereka pun secara aklamasi mempersilakan Hasan Al Banna untuk berceramah di daerah itu, bahkan mereka mengerahkan murid-muridnya untuk menghadiri ceramah itu. subhanallah. Idfa’ billati hiya ahsan, faidzalladzi bainaka wa bainahu ‘adawatun kaannahu waliyyun hamiim. Shodaqallahul ‘Azhim.

Siapa menyusul?

#re-post

You Might Also Like

0 comments

makasih ya udah baca :)
tambah makasih kalo mau kasih comment dibawah ini ^____^

Popular Posts

Featured post

Disclaimer

Sumber: di sini Saat kemarin membuka blog ini setelah 3 tahun 3 bulan 15 hari berlalu.. saya akhirnya mulai merapikan blog ini kembali ...

My Latest Vlog on Youtube

My latest post on instagram